Minggu, 16 Maret 2014

Potensi Tanaman Gaharu

Bibit Gaharu siap tanam
Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).

Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas mutu tertinggi (super) adalah lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX II (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).

Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
  • Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
  • Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak.
  • Abu (bubuk) adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas.

 Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Gaharu telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Ga11aru yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kirnia berupa resin (a-~ oleoresin). Gaharu bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan 8 (delapan) genus yang terd iri dari 17 species pohon penghasil gaharu, yakni Aquilaria (6 species), Wilkstroamia (3 species), Gonystilus (2 species), Gyrinops (2 species), Dalbergia( 1 species), Enkleia (1 species), Excoccaria (1 species), dan Aetoxylon (1 species) (Turjaman, M  dan  Santoso, 2011).

Perubahan paradigma dibidang medis dengan mulai dikembangkannya bahan organik dari tumbuhan (herbal) sebagai obat, menjadikan gaharu semakin dilirik sebagai bahan baku obat-obatan dari tanaman yang sangat potensial. Menurut Tarigan (2004), sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, pemanfaatan gaharu semakin luas. Negara Singapura, Cina, Korea, Jepang, -dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu sebagai bahan obat-obatan antara lain: penghilarg stres, gangguan ginjal, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan ginjal, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker, malaria, dan radang lambung. Menurut ASGARiN (Asosiasi Eksportir Gaharu Indonesia) melaporkan bahwa negara-negara Eropa dan lndia sudah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan tumor dan kanker. Sementara di Papua; secara tradisional; daun, kulit batang dan akar gaharu telah lama dimanfaatkan sebagai obat malaria (Iskandar. 2009).

Permintaan pasar internasional makin meningkat setiap tahun, dimana pasar gaharu paling besar adalah ke negara-negara Timur Tengah. Kebutuhan impor gaharu di negara-negara Timur Tengah banyak diperoleh dari Sin~apura (70%) dan Indonesia (30%). Sedangkan pasar untuk negara-negara Asia Selatan meliputi Singfpura, Taiwan, Jepang, Malaysia, Hongkong, dan Korea (Salampessy, 2009). Permintaan pasar internasional terhadap gaharu yang semakin tinggi membuat perburuan gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali di Indonesia, sementara tidak semua pohon gaharu bisa menghasilkan gubal gaharu yang bernilai jual tinggi . Minimnya pengetahuan para pemburu gaharu telah mendorong masyarakat melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diikuti upaya penanaman kembali (budidaya). menyebabkan populasi pohon penghasil gaharu telah semakin menurun, sehingga pada konferensi IX di Florida USA tahun 1994, para anggota CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan A. malaccensis dalam Apendix II. Artinya pohon tersebut terancam punah, karena itu perlu adanya pembatasan volume dalam pemanfaatan atau eksploitasi jenis penghasil gaharu. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu 250 ton/tahun.

Namun, sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 (Gun, et.al., 2004). Oleh karena itu upaya konservasi jenis rnaupun genetik pohon penghasil gaharu harus segera dilakukan untuk menghindari hilangnya potensi plasma nutfah . terutama sumber genetik di alam. Penyelamatan sumber genetik perlu dilakukan karena adanya variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang mempengaruhi harga jual di pasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama-tidaknya proses pembentukan gaharu dan variasi genetik pohon penghasil gaharu. Variasi genetic dapat mernpengaruhi respon inang terhadap inokulum, kecepatan pembentukan gaharu serta kualitas gaharu yang dihasilkan.


Rumusan Masalah

Gaharu mempunyai nilai ekonomi serta prospek yang sangat cerah pada masa mendatang. Praktek eksploitasi gaharu yang sangat tinggi tanpa diimbangi dengan upaya penanaman kembali serta upaya konservasi (baik jenis maupun genetik) akan menyebabkan pohon penghasil gaharu terancam punah. Demikian pula yang terjadi di pulau Sumatera, sampai saat ini belum diketahui berapa besar potensi, peta sebaran, serta belum dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik gaharu. Dari beberapa jenis pohon penghasil gaharu, diketahui memiliki variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama tidaknya proses pembentukan gaharu, dan variasi genetik pohon penghasil gaharu (Turjaman, M dan Santoso,2011).

Dari segi pemasaran potensi produk gaharu dapat dikatakan masih belum dapat terkoordinasi dengan maksimal. Pemanfaatan produk masih sekedar bahan mentah berupa gaharu yang menonjol dipasaran. Rendahnya pengetahuan akan pemanfaatan gaharu menyebabkan sangat minim keanekaragaman produk hasil gaharu yang dapat dihasilkan. Petani gaharu memproduksi getah gaharu dengan harga murah walaupun dalam kegiatan pemanenan hingga pemasaran membutuhkan banyak biaya. Hal ini menyebabkan sector pemasaran gaharu menjadi tidak efektif dan efisiein.

Secara garis besar berikut ini merupakan permasalahan yang sering kali muncul dalam budidaya dan pemasaran tanaman gaharu :
  1. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
  2. Belum adanya mekanisme pasar yang menjamin distribusi secara berkeadilan dan transparan (masih dikuasai pihak-pihak tertentu) sehingga masyarakat belum yakin karena harga dapat dipermainkan, serta payung hukum yang kuat terhadap produk tersebut.
  3. Belum adanya pengawasan dan standarisasi kualitas produk, sehingga harga menjadi sangat subyektif (tergantung selera pembeli)(Iskandar, 2009).

Keunggulan Tanaman Gaharu

Pohon penghasil gaharu, dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis sehingga hal ini akan memberikan efek yang baik bagi petani gaharu di Indonesia. Padahal dalam pemanfaatan gaharu, ada banyak hasil turunan yang dapat dibuat, bukan hanya gubalnya yang dijual dalam bentuk bahan baku, selain itu gubal gaharu dapat dipergunakan untuk:
  1. Pengharum/pewangi ruangan alami, dengan cara dibakar yang banyak dilakukan oleh Masyarakat di Negara Timur Tengah.
  2. Bahan baku industri parfum, wangian
  3. kosmetik.
  4. Sebagai bahan pembuatan dupa (insence stick).
  5. Sebagai bahan baku pembuatan Kohdoh (untuk acara ritual masyarakat Jepang).
  6. Sebagai bahan baku pembuatan minyak gaharu.
  7. Sebagai bahan baku pembuatan aneka kerajinan gaharu.
  8. Sebagai bahan pembuatan minuman (teh gaharu).
  9. Bahan baku obat-obatan antara lain : anti asmatik, stimulan kerja saraf, perangsang seks, obat kanker, penghilang stress, obat malaria, anti mikrobia, obat sakit perut, penghilang rasa sakit, obat ginjal, obat lever dan obat diare.
Jika dilihat dari berbagai potensi diatas, sebenarnya Indonesia sangat berpotensi mendapatkan keuntungan yang sebenarnya menjadi sumber devisa Negara. Namun, belum adanya pengaturan yang memudahkan petani dan msayarakat dalam memeberdayakan gaharu tersebut. Sudah dilakukan berbagai penelitian dalam meningkatakan produksi gaharu, sperti adanya teknik inokulasi gaharu yang akan memaksimalkan produksi getah yang bernilai ekonomis (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).


Pembahasan

Melihat keunggulan yang dimiliki oleh gaharu ada baiknya pengembangan gaharu semakin diperkuat dari sector pemasaran dan produksinya sehingga keuntungan yang didapat oleh masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup dan memberikan devisa bagi Negara.

Ada beberapa saran dan pendapat yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terdapat di lapangan terhadap pengembangan potensi gaharu, sebagai berikut:
  1. Pendampingan : untuk membina kelompok usaha tani dalam rangka menumbuh kembangkan sikap partisipatif, mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan melakukan usaha. Dalam hal ini diharapkan masayarkat setempat dapat membentuk suatu organisasi dimana dalam organisasi tersebut terjadi komunikasi untuk mengembangkan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil gaharu didampingi penyuluh dari pemerintah atau aktivis.
  2. Pelatihan : pelatihan didasarkan dari hasil identifikasi permasalahan lapangan dan kebutuhan latihan serta tingkat pendidikan dan pemahaman kelompok tani tentang aspek-aspek yang terkait dengan usaha gaharu. Dalam kegiatan pelatihan petani gaharu dapat dipersiapkan untuk mengolah hasil gaharu bukan lagi sekedar bahan baku melainkan barang setengah jadi ataupun barang olahan bernilai ekonomis.
  3. Penyuluhan : penyuluhan dilaksanakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melaksanakan kegiatan usaha secara berkelanjutan. Dalam hal ini pemerintah memberikan arahan untuk mendorong masyarakat setempat melihat potensi besar dari gaharu dan mekanisme dalam memproduksinya.
  4. Bimbingan Teknis meliputi bimbingan teknis perencanaan, budidaya, administrasi kelompok, kerjasama dalam kelompok dan antar kelompok serta aspek kemitraan usaha.
  5. Penguatan Modal : pemberian bantuan modal kelompok melalui skim kredit atau bantuan bergulir dari pemerintah, bank atau manajemen industri dalam bentuk kemitraan. Bantuan bibit telah dilaksanakan tahun 2008 di Basel dan Belitung sekitar 300 ribu batang (Pemprov) dan sekitar 250 ribu (Pemda Bateng). Dalam penguatan modal diharapkan pemerintah dapat juga memberikan bantuan pinjaman dan bantuan praktek pengelolaan kepada masayarakat.
Dalam membantu masyarakat, sebaiknya selain pemerintah diharapkan Agar lembaga-lembaga non departemen dan swasta lebih berperan dalam pengembangan kelembagaan dan penyediaan modal untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu khususnya gaharu. Seperti pernyataan Sumadiwangsa dan Zulnely (1999)  Sebab dalam berbagai kegiatan lembaga non departemen dan swasta dapat memberikan sumbangsih berupa tenaga kerja magang, penyuluh, maupun modal investasi dalam pengembangan kelembagaan. Jadi diharapkan dalam praktek dilapangan masayarakat dapat menjadi bagian dari rencana pengembangan tersebut. Tentunya hal ini akan memberikan dampak saling menguntungkan atau mutualisme bagi kedua belah pihak.


Kesimpulan

  1. Gaharu merupakan hasil hutan yang sangat berpotensi nilai ekonomis bila dikembangkan.
  2. Permassalahan utama gaharu adalah produksi alam yang tidak maksimal dan pemasaran yang masih terpusat.
  3. Penyuluhan, pelatihan, pendampingan dan penguatan modal menjadi alternative dalam memecahkan permasalahan gaharu.
  4. Peran serta dan koordinasi lembaga pemerintah, non-departemen, dan swasta dapat memaksimalkan pemasaran gaharu.
  5. Sebaiknya masyarakat dan lembaga pemerintah, non-departemen, serta swasta dapat berkoordinasi dengan baik untuk memudahkan jalur pemasaran gaharu demi meningkatkan nilai ekonomis gaharu.


Daftar Isi

Gun, et.al., 2004. Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Forest Project.
Working paper No. 51. Vietnam. Dalam Sofyan, A.dkk. 2010. Pengembangan Dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu  Sebagai   Bahan    Obat    Di   Sumatera.   Kementerian   Kehutanan   Balai
Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Iskandar. 2009. Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung.
Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].
Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1).
Bogar, 29 April2009.
Sumarna, 2007. Stategi dan Teknik pemasaran Gaharu di Indonesia. Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam - ITTO PO 425/06 Rev.1 (1).
Bogor, 29 April 2009
Turjaman, M  dan  Santoso, E. 2011.  Teknologi  Inokulasi  &  Perkembangannya
Untuk  Menghasilkan  Gubal  Gaharu  Berkualitas  Tinggi.  Pusat  Litbang
Konservasi & Rehabilitasi. Diakses dari http//: 2 Inokulasi Gaharu.pdf.//
Tarigan. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Oepartemen Kehutanan.Ddalam Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung. Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].


Silahkan tulis saran, kritik dan komentar Anda pada kotak komentar di bawah ini, terima kasih..

8 komentar:

  1. Sekarang gaharu memang sudah menjadi tren bagi masyarakat melawi.... Mereka tertarik untuk budidaya maupun mencari gaharu alami untuk dijual-belikan.... Akan tetapi masyarakat banyak yang tidak tau tentang kualitas dan pemasaran dari gaharu ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali..
      Karena tidak mengetahui kualitas dan pemasarannya, banyak masyarakat yang terjebak permainan para pengepul dengan menjual gaharu dengan harga murah padahal kualitasnya bagus..

      Hapus
    2. Salam kenal mba Sari
      Salam blogger
      : D

      Hapus
    3. Salam kenal juga mas Simon....
      Xixixi....

      Hapus
  2. Salam kenal bro
    Selamat Hari Bakti Rimbawan
    : D

    BalasHapus