Selasa, 22 April 2014

Setiap Hari "Berasa" Hari Bumi

Hari ini, tepat di tanggal 22 April selalu menjadi perhatian dunia. Apa sebab? Karena sejak tahun 1970 setiap tanggal 22 April diperingati Hari Bumi sedunia, yang mana Hari Bumi ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi.

Namun, jika menilik kondisi bumi saat ini, tentu kita bisa lihat bahwa telah terjadi banyak permasalahan kerusakan lingkungan yang memberikan efek terhadap kehidupan manusia. Padahal jelas, bahwa kerusakan yang terjadi di bumi ini disebabkan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri. Masih banyak kegiatan seperti pembalakan hutan secara ekstrim dan eksploitasi isi perut bumi yang dilakukan sesuka hati seolah menjadi petanda bahwa bumi ini kini telah "sakit" karena tidak dirawat dengan baik, bahkan diperlakukan tidak adil oleh tangan-tangan manusia.

Ada fakta yang membuat miris, bahwa negara Indonesia yang kita duduki ini merupakan negara terbesar ketiga penghasil emisi gas rumah kaca, yang mendorong terjadinya perubahan iklim yang berakibat kenaikan permukaan laut, semakin seringnya badai, siklus ekstrim dari kekeringan dan banjir. Dan jika ini terus berlanjut, maka hutan Indonesia yang masih tersisa akan segera musnah. Hilangnya satu kawasan lindung pertanda hancurnya peradaban.

Kita semua tahu bahwa permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan adalah masalah yang serius, rumit dan sulit untuk mengatasinya, karena permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang menjadi tanggung jawab semua orang. Jangan sampai juga, kampanye tentang lingkungan hidup menjadi slogan yang selalu menggema tanpa wujud aksi nyata. Oleh karena itu, mesti ada aksi nyata seperti perubahan sikap dan penegakan kebijakan yang pro ekosistem sebagai salah satu bentuk cara mengatasi ancaman terhadap lingkungan. Dan itu semua mesti dimulai dari diri kita sendiri guna melindungi bumi demi masa depan generasi mendatang, sebelum semuanya menjadi terlambat.

Berawal dari pesan sederhana itu, kita harus mulai dan sepakat menerapkan gaya hidup yang peduli terhadap lingkungan dengan cara memberikan respect terhadap lingkungan dan makhluk hidup, setidaknya dari hal-hal yang kecil yang bisa kita lakukan seperti halnya menanam pohon di lingkungan sekitar kita. Tentunya kalau kita mampu menanam pohon setiap hari walau hanya sebatang akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup bumi ini, terlebih jika kita mampu mengajak orang-orang di sekeliling kita untuk melakukan aksi nyata tentu akan memberikan dampak positif yang besar pula bagi bumi ini. So, mari kita kampanyekan dan wujudkan aksi menanam pohon "one day one tree" biar setiap hari berasa hari Bumi.

>> Baca selanjutnya..

Minggu, 16 Maret 2014

Potensi Tanaman Gaharu

Bibit Gaharu siap tanam
Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).

Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas mutu tertinggi (super) adalah lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX II (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).

Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
  • Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
  • Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak.
  • Abu (bubuk) adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas.

 Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Gaharu telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Ga11aru yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kirnia berupa resin (a-~ oleoresin). Gaharu bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan 8 (delapan) genus yang terd iri dari 17 species pohon penghasil gaharu, yakni Aquilaria (6 species), Wilkstroamia (3 species), Gonystilus (2 species), Gyrinops (2 species), Dalbergia( 1 species), Enkleia (1 species), Excoccaria (1 species), dan Aetoxylon (1 species) (Turjaman, M  dan  Santoso, 2011).

Perubahan paradigma dibidang medis dengan mulai dikembangkannya bahan organik dari tumbuhan (herbal) sebagai obat, menjadikan gaharu semakin dilirik sebagai bahan baku obat-obatan dari tanaman yang sangat potensial. Menurut Tarigan (2004), sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, pemanfaatan gaharu semakin luas. Negara Singapura, Cina, Korea, Jepang, -dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu sebagai bahan obat-obatan antara lain: penghilarg stres, gangguan ginjal, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan ginjal, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker, malaria, dan radang lambung. Menurut ASGARiN (Asosiasi Eksportir Gaharu Indonesia) melaporkan bahwa negara-negara Eropa dan lndia sudah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan tumor dan kanker. Sementara di Papua; secara tradisional; daun, kulit batang dan akar gaharu telah lama dimanfaatkan sebagai obat malaria (Iskandar. 2009).

Permintaan pasar internasional makin meningkat setiap tahun, dimana pasar gaharu paling besar adalah ke negara-negara Timur Tengah. Kebutuhan impor gaharu di negara-negara Timur Tengah banyak diperoleh dari Sin~apura (70%) dan Indonesia (30%). Sedangkan pasar untuk negara-negara Asia Selatan meliputi Singfpura, Taiwan, Jepang, Malaysia, Hongkong, dan Korea (Salampessy, 2009). Permintaan pasar internasional terhadap gaharu yang semakin tinggi membuat perburuan gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali di Indonesia, sementara tidak semua pohon gaharu bisa menghasilkan gubal gaharu yang bernilai jual tinggi . Minimnya pengetahuan para pemburu gaharu telah mendorong masyarakat melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diikuti upaya penanaman kembali (budidaya). menyebabkan populasi pohon penghasil gaharu telah semakin menurun, sehingga pada konferensi IX di Florida USA tahun 1994, para anggota CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan A. malaccensis dalam Apendix II. Artinya pohon tersebut terancam punah, karena itu perlu adanya pembatasan volume dalam pemanfaatan atau eksploitasi jenis penghasil gaharu. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu 250 ton/tahun.

Namun, sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 (Gun, et.al., 2004). Oleh karena itu upaya konservasi jenis rnaupun genetik pohon penghasil gaharu harus segera dilakukan untuk menghindari hilangnya potensi plasma nutfah . terutama sumber genetik di alam. Penyelamatan sumber genetik perlu dilakukan karena adanya variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang mempengaruhi harga jual di pasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama-tidaknya proses pembentukan gaharu dan variasi genetik pohon penghasil gaharu. Variasi genetic dapat mernpengaruhi respon inang terhadap inokulum, kecepatan pembentukan gaharu serta kualitas gaharu yang dihasilkan.


Rumusan Masalah

Gaharu mempunyai nilai ekonomi serta prospek yang sangat cerah pada masa mendatang. Praktek eksploitasi gaharu yang sangat tinggi tanpa diimbangi dengan upaya penanaman kembali serta upaya konservasi (baik jenis maupun genetik) akan menyebabkan pohon penghasil gaharu terancam punah. Demikian pula yang terjadi di pulau Sumatera, sampai saat ini belum diketahui berapa besar potensi, peta sebaran, serta belum dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik gaharu. Dari beberapa jenis pohon penghasil gaharu, diketahui memiliki variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama tidaknya proses pembentukan gaharu, dan variasi genetik pohon penghasil gaharu (Turjaman, M dan Santoso,2011).

Dari segi pemasaran potensi produk gaharu dapat dikatakan masih belum dapat terkoordinasi dengan maksimal. Pemanfaatan produk masih sekedar bahan mentah berupa gaharu yang menonjol dipasaran. Rendahnya pengetahuan akan pemanfaatan gaharu menyebabkan sangat minim keanekaragaman produk hasil gaharu yang dapat dihasilkan. Petani gaharu memproduksi getah gaharu dengan harga murah walaupun dalam kegiatan pemanenan hingga pemasaran membutuhkan banyak biaya. Hal ini menyebabkan sector pemasaran gaharu menjadi tidak efektif dan efisiein.

Secara garis besar berikut ini merupakan permasalahan yang sering kali muncul dalam budidaya dan pemasaran tanaman gaharu :
  1. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
  2. Belum adanya mekanisme pasar yang menjamin distribusi secara berkeadilan dan transparan (masih dikuasai pihak-pihak tertentu) sehingga masyarakat belum yakin karena harga dapat dipermainkan, serta payung hukum yang kuat terhadap produk tersebut.
  3. Belum adanya pengawasan dan standarisasi kualitas produk, sehingga harga menjadi sangat subyektif (tergantung selera pembeli)(Iskandar, 2009).

Keunggulan Tanaman Gaharu

Pohon penghasil gaharu, dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis sehingga hal ini akan memberikan efek yang baik bagi petani gaharu di Indonesia. Padahal dalam pemanfaatan gaharu, ada banyak hasil turunan yang dapat dibuat, bukan hanya gubalnya yang dijual dalam bentuk bahan baku, selain itu gubal gaharu dapat dipergunakan untuk:
  1. Pengharum/pewangi ruangan alami, dengan cara dibakar yang banyak dilakukan oleh Masyarakat di Negara Timur Tengah.
  2. Bahan baku industri parfum, wangian
  3. kosmetik.
  4. Sebagai bahan pembuatan dupa (insence stick).
  5. Sebagai bahan baku pembuatan Kohdoh (untuk acara ritual masyarakat Jepang).
  6. Sebagai bahan baku pembuatan minyak gaharu.
  7. Sebagai bahan baku pembuatan aneka kerajinan gaharu.
  8. Sebagai bahan pembuatan minuman (teh gaharu).
  9. Bahan baku obat-obatan antara lain : anti asmatik, stimulan kerja saraf, perangsang seks, obat kanker, penghilang stress, obat malaria, anti mikrobia, obat sakit perut, penghilang rasa sakit, obat ginjal, obat lever dan obat diare.
Jika dilihat dari berbagai potensi diatas, sebenarnya Indonesia sangat berpotensi mendapatkan keuntungan yang sebenarnya menjadi sumber devisa Negara. Namun, belum adanya pengaturan yang memudahkan petani dan msayarakat dalam memeberdayakan gaharu tersebut. Sudah dilakukan berbagai penelitian dalam meningkatakan produksi gaharu, sperti adanya teknik inokulasi gaharu yang akan memaksimalkan produksi getah yang bernilai ekonomis (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).


Pembahasan

Melihat keunggulan yang dimiliki oleh gaharu ada baiknya pengembangan gaharu semakin diperkuat dari sector pemasaran dan produksinya sehingga keuntungan yang didapat oleh masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup dan memberikan devisa bagi Negara.

Ada beberapa saran dan pendapat yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terdapat di lapangan terhadap pengembangan potensi gaharu, sebagai berikut:
  1. Pendampingan : untuk membina kelompok usaha tani dalam rangka menumbuh kembangkan sikap partisipatif, mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan melakukan usaha. Dalam hal ini diharapkan masayarkat setempat dapat membentuk suatu organisasi dimana dalam organisasi tersebut terjadi komunikasi untuk mengembangkan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil gaharu didampingi penyuluh dari pemerintah atau aktivis.
  2. Pelatihan : pelatihan didasarkan dari hasil identifikasi permasalahan lapangan dan kebutuhan latihan serta tingkat pendidikan dan pemahaman kelompok tani tentang aspek-aspek yang terkait dengan usaha gaharu. Dalam kegiatan pelatihan petani gaharu dapat dipersiapkan untuk mengolah hasil gaharu bukan lagi sekedar bahan baku melainkan barang setengah jadi ataupun barang olahan bernilai ekonomis.
  3. Penyuluhan : penyuluhan dilaksanakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melaksanakan kegiatan usaha secara berkelanjutan. Dalam hal ini pemerintah memberikan arahan untuk mendorong masyarakat setempat melihat potensi besar dari gaharu dan mekanisme dalam memproduksinya.
  4. Bimbingan Teknis meliputi bimbingan teknis perencanaan, budidaya, administrasi kelompok, kerjasama dalam kelompok dan antar kelompok serta aspek kemitraan usaha.
  5. Penguatan Modal : pemberian bantuan modal kelompok melalui skim kredit atau bantuan bergulir dari pemerintah, bank atau manajemen industri dalam bentuk kemitraan. Bantuan bibit telah dilaksanakan tahun 2008 di Basel dan Belitung sekitar 300 ribu batang (Pemprov) dan sekitar 250 ribu (Pemda Bateng). Dalam penguatan modal diharapkan pemerintah dapat juga memberikan bantuan pinjaman dan bantuan praktek pengelolaan kepada masayarakat.
Dalam membantu masyarakat, sebaiknya selain pemerintah diharapkan Agar lembaga-lembaga non departemen dan swasta lebih berperan dalam pengembangan kelembagaan dan penyediaan modal untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu khususnya gaharu. Seperti pernyataan Sumadiwangsa dan Zulnely (1999)  Sebab dalam berbagai kegiatan lembaga non departemen dan swasta dapat memberikan sumbangsih berupa tenaga kerja magang, penyuluh, maupun modal investasi dalam pengembangan kelembagaan. Jadi diharapkan dalam praktek dilapangan masayarakat dapat menjadi bagian dari rencana pengembangan tersebut. Tentunya hal ini akan memberikan dampak saling menguntungkan atau mutualisme bagi kedua belah pihak.


Kesimpulan

  1. Gaharu merupakan hasil hutan yang sangat berpotensi nilai ekonomis bila dikembangkan.
  2. Permassalahan utama gaharu adalah produksi alam yang tidak maksimal dan pemasaran yang masih terpusat.
  3. Penyuluhan, pelatihan, pendampingan dan penguatan modal menjadi alternative dalam memecahkan permasalahan gaharu.
  4. Peran serta dan koordinasi lembaga pemerintah, non-departemen, dan swasta dapat memaksimalkan pemasaran gaharu.
  5. Sebaiknya masyarakat dan lembaga pemerintah, non-departemen, serta swasta dapat berkoordinasi dengan baik untuk memudahkan jalur pemasaran gaharu demi meningkatkan nilai ekonomis gaharu.


Daftar Isi

Gun, et.al., 2004. Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Forest Project.
Working paper No. 51. Vietnam. Dalam Sofyan, A.dkk. 2010. Pengembangan Dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu  Sebagai   Bahan    Obat    Di   Sumatera.   Kementerian   Kehutanan   Balai
Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Iskandar. 2009. Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung.
Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].
Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1).
Bogar, 29 April2009.
Sumarna, 2007. Stategi dan Teknik pemasaran Gaharu di Indonesia. Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam - ITTO PO 425/06 Rev.1 (1).
Bogor, 29 April 2009
Turjaman, M  dan  Santoso, E. 2011.  Teknologi  Inokulasi  &  Perkembangannya
Untuk  Menghasilkan  Gubal  Gaharu  Berkualitas  Tinggi.  Pusat  Litbang
Konservasi & Rehabilitasi. Diakses dari http//: 2 Inokulasi Gaharu.pdf.//
Tarigan. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Oepartemen Kehutanan.Ddalam Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung. Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].


>> Baca selanjutnya..

Kamis, 13 Maret 2014

Kunjungan Kerja Menteri Kehutanan RI Di Kabupaten Melawi

Menteri Kehutanan sedang memberi pengarahan
Hari kamis pagi langit di Kabupaten Melawi terlihat mendung dan matahari belum menampakkan wujudnya. Dari kejauhan terdengar suara sirine iringan rombongan Menteri Kehutanan Republik Indonesia menuju pendopo Bupati guna melakukan kunjungan kerja, dan kedatangan beliau kali ini ke Kabupaten Melawi merupakan kunjungan yang kedua kalinya.

Tampak orang nomor satu di Kementerian Kehutanan itu berjalan didampingi Bupati Melawi menuju tempat acara yang telah disediakan. Saat memasuki ruangan, beliau mengucapkan salam kepada para tamu undangan sembari mengumbar senyum lebarnya dan menyalami beberapa tamu undangan yang ada. Dan acara pun akhirnya dimulai.

Menteri Kehutanan didampingi Bupati Melawi memasuki pendopo

Pada kesempatan pertama acara dibuka dengan sambutan Bupati Melawi Bapak Firman Muntaco, SH, MH. Dalam sambutannya, beliau mengutarakan sedikit bercerita mengenai kondisi Kabupaten Melawi. Orang nomor satu di Kabupaten Melawi tersebut mengatakan bahwa luas wilayah Kabupaten Melawi ini kurang lebih sekitar 1,1 juta hektar dan jumlah penduduk Kabupaten Melawi saat ini berkisar 200 ribu jiwa. Selain itu beliau juga mengatakan wilayah Kabupaten Melawi berbatasan langsung dengan Propinsi Kalimantan Tengah. Dan batas wilayah Kabupaten Melawi telah bergeser sekitar lima kilometer dari batas semestinya. Oleh karena itu, beliau pun menghendaki batas antara Kabupaten Melawi dengan Propinsi Kalimantan Tengah diupayakan untuk dikembalikan ke batas semula seperti batas yang dibuat oleh Angkatan Darat.

Bupati Melawi sedang memberikan sambutan

Setelah Bupati bercerita sedikit tentang kondisi Kabupaten Melawi, tak lama kemudian beliau pun menyudahi sambutannya dan disambut tepuk tangan dari para tamu undangan. Acara pun terus berlangsung dan kini giliran Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Bapak Zulkifli Hasan, SE, MM yang akan memberikan kata sambutan berikutnya.

Menteri Kehutanan memberikan sambutan di depan tamu undangan

Dalam sambutannya ada beberapa hal pokok yang disampaikan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia dalam acara kunjungan kerja di Kabupaten Melawi, diantaranya adalah :
  1. Dalam beberapa dekade pengelolaan kehutanan di Indonesia sekitar 99% lebih hutan di Indonesia dikuasai/dikelola oleh corporate/perusahaan dan sisanya kurang dari 1% dikelola oleh masyarakat. Hal ini ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, karena hasil dari pengelolaan hutan di Indonesia hanya "dinikmati" oleh segelintir orang saja dan masyarakat tidak merasakan dampak positifnya. Dan pada 4 tahun terakhir, ternyata proporsi pengelolaan hutan di Indonesia mulai ada perubahan, yaitu 96% lebih dikelola corporate dan lebih dari 3% dikelola berbasis masyarakat. Dari sinilah mulai bermunculan hutan tanaman yang dikelola berbasis masyarakat. Data menunjukkan bahwa 75% industri kayu berada di pulau Jawa yang berasal dari hutan tanaman dan tren hutan tanaman yang sekarang ini gencar digalakkan di pulau Jawa berupa hutan tanaman jenis Sengon. Nah, bisa dibayangkan jika pola hutan tanaman ini bisa diterapkan di Kabupaten Melawi yang memiliki luas sekitar 1,1 juta hektar, maka Kabupaten Melawi rakyatnya bisa sejahtera, karena pola hutan tanaman Sengon ini bisa diselingi dengan tanaman tahunan dan ternak yang bisa menghasilkan dalam jangka waktu pendek.
  2. Untuk memicu masyarakat dalam membangun hutan tanaman, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki fungsi memberikan modal bagi masyarakat atau kelompok untuk membentuk dan mengelola hutan tanaman karet. Besar modal yang bisa diberikan hanya 20 juta rupiah dengan bunga 7% dalam kurun waktu 9 tahun. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk modal usaha hutan tanaman. Tujuan dari pemberian modal tersebut, semata-mata untuk memberikan kemudahan berupa modal untuk mengembangkan usaha berbasis masyarakat.
  3. Permasalahan yang sekarang ini menjadi isu serius dalam pengelolaan hutan atau lingkungan adalah mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh rusaknya lingkungan memberikan dampak yang signifikan. Seperti contoh dalam waktu yang bersamaan, di Lampung terjadi hujan dan menyebabkan banjir besar dan justru di Riau malah terjadi kebakaran hutan, padahal kedua wilayah tersebut tidaklah berjauhan atau masih satu pulau. Nah, perubahan iklim ini tentunya sangat bergantung dengan pengelolaan lingkungannya, maka dari itu dengan adanya pengelolaan hutan tanaman berbasis masyarakat akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan juga menghijaukan kembali hutan Indonesia seperti semula.
Menteri Kehutanan bersalaman dengan para tamu undangan

Setelah memaparkan tiga hal pokok di atas, akhirnya Menteri Kehutanan pun mengakhiri sambutannya yang diiringi tepuk tangan yang meriah dari para tamu undangan. Kemudian acara dilanjutkan dengan penyerahan Dana DAK Bidang Kehutanan, Bantuan KBR dan Bansos. Setelah itu acara pun ditutup dengan bacaan doa. Menteri Kehutanan beserta rombongan pun akhirnya berpamitan kepada tamu undangan dan keluar dari ruangan dengan bersalam-salaman.

>> Baca selanjutnya..

Senin, 10 Maret 2014

Potensi Tanaman Jabon

Jabon berusia 7 bulan dengan diameter 7-10 cm
Latar Belakang

Dalam pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan sehingga bisa dirasakan oleh semua masyarakat, baik meningkatkan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta mampu mengurangi perbedaan kemampuan antar daerah.

Industrialisasi dibidang kehutanan merupakan salah satu industri yang memikili peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Hal ini disebabkan oleh terus meningkatnya permintaan pasar akan hasil hutan khususnya dibidang perkayuan. Kayu merupakan salah satu sumberdaya alam yang saat ini mulai mengkhawatirkan banyak orang, baik ditingkat pemerintah maupun tingkat pemerhati lingkungan. Besarnya tingkat kebutuhan kayu untuk industri yang mencapai lebih dari 35 juta m3 per tahunnya, menjadikan kayu sebagai barang komoditas yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Tak heran bila saat ini harga jual kayu dipasaran cukup mahal, sehingga beberapa orang kini mulai sadar untuk membudidayakan berbagai macam jenis kayu untuk mengimbangi besarnya permintaan pasar yang ada saat ini.

Dari berbagai macam jenis kayu yang ada di Indonesia, saat ini Jabon  (Antocephalus cadamba) menjadi salah satu jenis tanaman yang paling diminati para petani. Pertumbuhannya yang lebih cepat dari tanaman kayu lainnya dan besarnya minat pasar terhadap jenis kayu ini, membuat para petani lebih tertarik membudidayakan jenis kayu tersebut sebagai salah satu peluang usaha yang mereka geluti. 

Pohon Jabon (Anthocephalus cadamba) adalah peluang usaha dan investasi menguntungkan, merupakan tanaman bahan baku industri yang sangat berkualitas bahkan jika dibandingkan dengan tanaman/pohon albaziah atau sengon. yang saat ini masih merupakan bahan baku dasar yang umum digunakan pada industri-industri kayu olahan, seperti: plywood, blockboard, particle board, hingga peti kemas.


Rumusan Masalah
  1. Karateristik Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Keunggulannya
  2. Peluang Bisnis Jabon (Anthocephalus cadamba)
  3. Kendala dalam Bisnis Jabon (Anthocephalus cadamba)


Karateristik Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Keunggulannya

Jabon (Antocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis kayu yang pertumbuhannya sangat cepat dan dapat tumbuh subur di hutan tropis. Tanaman Jabon (Antocephalus cadamba) dapat tumbuh pada ketinggian 10 – 2000 mdpl serta curah hujan berkisar 1250 – 3000 m/thn. Suhu yang dibutuhkan tanaman jabon (Antocephalus cadamba) adalah 10ºC- 40ºC dengan PH tanah antara 4,5-7,5.

Bibit Jabon siap tanam

Saat ini jabon (Antocephalus cadamba)  menjadi andalan industri perkayuan, termasuk kayu lapis, karena jabon memiliki beberapa keunggulan di bandingkan dengan tanaman kayu rimba lainnya. Selain daya tumbuhnya yang sangat cepat, tingkat kelurusannya juga tinggi, berbatang silinder dan cabang yang ada pada masa pertumbuhan akan rontok dengan sendirinya ketika pohon meninggi. Sifat ini menguntungkan karena tidak memerlukan pemangkasan. Kayunya berwarna putih agak kekuningan tanpa terlihat serat sangat baik dipergunakan untuk pembuatan kayu lapis playwood, mebeler, bahan bangunan non kontruksi, maupun kayu gergajian. Tanaman Jabon (Antocephalus cadamba)  menpunyai usai optimal berkisar 12 tahun tetapi pada usia 6 8 tahun sudah dapat di tebang 30 up. Diameter batang jabon dapat mencapai 10 cm/thn dengan masa produksi yang singkat yaitu hanya 4-5 tahun.

Jabon (Antocephalus cadamba)   merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan berkembang dan tidak memerlukan perlakuan khusus dalam budidayanya, serta  tergolong tanaman yang tahan terhadap hama penyakit. Pertumbuhan Jabon (Antocephalus cadamba)  sangat cepat dibandingkan dengan kayu keras lainnya termasuk bila dibandingkan dengan sengon albazia. Jabon (Antocephalus cadamba)  ergolong tumbuhan pionir yang dapat tumbuh di tanah liat, tanah lempung podsolik cokelat, atau tanah berbatu. Sejauh ini jabon (Antocephalus cadamba) bebas serangan hama dan penyakit, termasuk karat tumor yang kini banyak menyerang sengon.


Peluang Bisnis Jabon (Antocephalus cadamba)

Di Indonesia, kayu merupakan komoditas yang sangat penting karena bukan hanya untuk keperluan domestik, tetapi juga untuk keperluan ekspor. Kayu diperjualbelikan dalam bentuk kayu bulat, maupun hasil olahannya, seperti kayu gergajian, kayu lapis, papan partikel, moulding, dan kertas. Ekspor kayu bulat sebenarnya telah lama dilarang oleh pemerintah. Ekspor kayu bulat yang berasal dari hutan-hutan alam memang akan mendorong kerusakan hutan yang lebih cepat, tetapi jika penerapannya pada hutan-hutan tanaman baru (termasuk hutan rakyat), pembukaan kembali izin ekspor kayu bulat juga akan mendongkrak harga kayu Indonesia. Dengan demikian, investasi pada hutan rakyat akan semakin memberikan menguntungkan yang menjanjikan.

Kondisi Jabon beberapa bulan setelah ditanam

Bisnis jabon (Antocephalus cadamba) merupakan bisnis yang memiliki peluang usaha dan investasi yang menguntungkan karena kayu yang dihasilkan tanaman jabon merupakan bahan industri yang sangat berkualitas jika dibandingkan dengan kayu tanaman albaziah atau sengon. Kayu jabon (Antocephalus cadamba) saat ini sangat diminati sehingga menjadi bahan baku dasar yang umum digunakan pada indusrti kayu olahan seperti plywood, blockboard, particle board, hingga peti kemas.

Hal ini dikarenakan semenjak tahun 2002, sebuah organisasi internasional di bidang industri perkayuan atau International Trade of Timber Organization (ITTO) mengeluarkan persyaratan bahwa kayu-kayu tropika tidak boleh diekspor kecuali kayu tersebut diolah terlebih dahulu. Industri perkayuan dalam bentuk plywood ini mengakibatkan permintaan akan kayu semakin tinggi. Industri kayu memiliki skema produksi yang unik, dimana arus outputnya lebih besar daripada arus inputnya. Penyediaan bahan baku yang relatif lama menjadi faktor kendalanya.

Agribisnis Jabon, berupaya menjawab tantangan industri perkayuan khususnya plywood tersebut. Kondisi ini dikarenakan usia panen tanaman jabon yang relatif singkat untuk ukuran tanaman kayu. Jabon dapat dipanen pada umur 6 s/d 7 tahun. Sehingga, tanaman jabon merupakan alternatif yang paling tepat sebagai bahan baku plywood atau industri perkayuan sejenis.


Nilai Ekonomi Jabon (Antocephalus cadamba)

Budidaya tanaman jabon (Antocephalus cadamba) akan memberikan keuntungan yang sangat menggiurkan apabila dikerjakan secara serius dan benar. Tanaman jabon (Antocephalus cadamba) yang dipanen pada usia 5-6- tahun dengan asumsi harga terendah dan batang terkecil,  setiap batang jabon (Antocephalus cadamba) diperoleh tinggi batang rata-rata yang bisa terjual adalah 12 m dengan diameter batang rata-rata 40 -50 cm. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka tiap batang pohon jabon (Antocephalus cadamba) menghasilkan kayu yang bisa dijual sebanyak 1,5 kubik, sedangkan harga perkubik saat ini Rp 1.000.000,- Jadi harga 1 batang pohon usia 8-10 tahun minimal seharga Rp 1.500.000.

Jika asumsi harga jual pohon Jabon (Antocephalus cadamba) usia 6 - 7 tahun per-batangnya adalah Rp.1.000.000,- per-batangnya, maka dalam 1 Hektarnya kita dapat menghasilkan uang sebesar.
  • jarak tanam 4 x 4 meter = 625 batang pohon x Rp 1.000.000 = Rp 625.000.000
  • jarak tanam 3 x 4 meter = 825 batang pohon x Rp 1.000.000 = Rp 825.000.000
  • jarak tanam 3 x 3 meter = 1.000 batang pohon x Rp (2 tahap) = Rp 865.000.000
Seratus jutaan lebih pertahun merupakan hasil yang fantastis dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan dan tanpa perawatan yang sulit.


Tingginya Permintaan Kayu Jabon (Antocephalus cadamba) 

Terus meningkatnya permintaan pasar akan hasil hutan kayu membuat bisnis jabon sangat tepat untuk dikembangkan. Saat ini banyak sekali penyerap kayu jabon (Antocephalus cadamba) diantaranya kayu lapis, industri mebel, pulp, mainan anak-anak, peti buah, alas sepatu, korek api, tripleks, mebel, bahan bangunan non konstruksi, dan banyak lagi yang lainnya. Selain itu kayu jabon (Antocephalus cadamba) juga sangat mudah dibuat vinir dengan sudut kupus920 dan ketebalan 1,5 mm.

Menanam jabon (Antocephalus cadamba)  bagaikan menanam emas, sebab kebutuhan kayu jabon akan terus meninggi, karena saat ini pemerintah melarang penggunaan kayu bulat hasil tebangan hutan alam, akibatnya banyak industri tutup akibat kekurangan pasokan kayu, jadi pada masa mendatang, besar kemungkinan harga kayu jabon akan semakin meningkat terus.
Beberapa target pasar untuk menjual tanaman jabon yaitu :
  1. Tempat Penampungan Kayu (TPK)
    Beberapa TPK resmi yang dikelola oleh Kementrian Kehutanan umumnya telaah siap menerima kayu jabon yang memiliki izin kepemilikan yang sah. Di Provinsi Jawa Tengah, terdapat beberapa TPK yang merupakan tempat pemasaran kayu jabon. Harga beli yang ditawarkan kepada petani ditentukan oleh pasar. Pada akhir tahun 2010 harga kayu jabon berkisar antara  Rp 900.000 – Rp 1.200.000 per m3.
  2. Perusahaan Tripleks dan Mebel
    Perusahaan hilir yang membutuhkan bahan baku kayu seperti industri tripleks, kayu olahan dan mebel banyak menampung kayu jabon, meskipun jumlahnya masih belum sebanyak kayu sengon, kayu jabon sudah mulai dibutuhkan oleh berbagai industry pengolahan kayu di Pula Jawa, seperti Semarang, Cirebon, Sukabumi dan Cianjur.
  3. Perusahaan Kertas
    Perusahaan kertas saat ini sangat membutuhkan pasokan bahan baku dengan semakin berkurangnya pasokan bahan baku dari alam (hutan produksi), sehingga dalam keadaan mendesak kayu jabon yang berumur 2-3 tahun dapat dipanen dan dijual ke beberapa perusahaan kertas yang tentu saja keuntungan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan kayu jabon yang dipanen pada saat kondisi optimal


Kendala Bisnis Jabon (Antocephalus cadamba)

Jabon (Antocephalus cadamba) merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tidak memerlukan banyak perlakuan khusus dalam budidayanya. Hambatan yang mungkin muncul dalam budidaya jabon adalah serangan hama yang pada umumnya menyerang di persemaian. Hama yang sering menyerang tanaman jabon di persemaian antara lain hama semut, bekicot, ulat dan rayap, sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman jabon di persemaian khususnya pada saat perkecambahan adalah penyakit Dumping off. Antisipasi dapat dilakukan penyemprotan pestisida hingga umur bibit 3 bulan. Setelah itu daunnya sudah banyak tumbuh dan tidak akan habis bila terserang oleh hama.

Bibit Jabon siap tanam usia 2-3 bulan

Kendala juga dapat datang dari segi pengangkutan kayu jabon (Antocephalus cadamba), dimana seringkali pengangkutan kayu jabon (Antocephalus cadamba)  terkendala akibat waktu pengangkutan yang dibutuhkan relative lama. Hal ini dapat menyebabkan konsumen merasa kecewa khususnya pihak yang menjadikan jabon (Antocephalus cadamba)  sebagai bahan baku produknya. Karena pengangkutan kayu jabon (Antocephalus cadamba)  dari produsen terkendala akibatnya penyediaan bahan baku produknya juga terganggu.


Kesimpulan

Industrialisasi dibidang kehutanan merupakan salah satu industri yang memikili peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Hal ini disebabkan oleh terus meningkatnya permintaan pasar akan hasil hutan khususnya dibidang perkayuan. Saat ini tanaman kehutanan yang sedang digemari dalam dunia bisnis adalah jabon (Antocephalus cadamba).

Menanam jabon menjadi peluang usaha yang sangat menjanjikan mengingat kebutuhan kayu akan terus meningkat, karena saat ini pemerintah melarang penggunaan kayu bulat hasil tebangan hutan alam, akibatnya banyak industri tutup akibat kekurangan pasokan kayu, jadi pada masa mendatang kebutuhan dan harga kayu jabon akan semakin meningkat terus. 

Pohon Jabon (Anthocepalus cadamba) adalah peluang usaha dan investasi menguntungkan, merupakan tanaman bahan baku industri yang sangat berkualitas bahkan jika dibandingkan dengan tanaman/pohon albaziah atau sengon. yang saat ini masih merupakan bahan baku dasar yang umum digunakan pada industri-industri kayu olahan, seperti: plywood, blockboard, particle board, hingga peti kemas.


Daftar Pustaka

Darwo, 1994. Studi Pendahuluan Pembuatan Batang Korek Api dari Jabon. Buletin Penelitian Kehutanan 10 (1) : 13 – 29. BPK Pematang Siantar.
Irdika, Mansur dan Faisal, D. T. Kayu Jabon. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Krisnawati, H dan Markku K., 2011. Anthochepalus cadamba Miq. Ecology, Silviculture and Productivity. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Listyanto, 2010. Budidaya Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) Menggunakan Bio P 2000 Z. Seri Kehutanan PT. Alam Lestari Maju Indonesia.
Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nair, K.S.S., 2000. Insect Pest and Disease in Indonesian Forest. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Pratiwi, 2003. Prospek Pohon Jabon untuk Pengembangan Hutan Tanaman. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 1 Tahun 2003, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Redaksi Trubus, 2010. Jabon Jagoan Kayu Produktif. PT. Trubus Swadaya. Jakarta.
Sapulete, E., Kapisa, N., 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Buletin Penelitian Kehutanan 10 (3) : 183 – 195. BPK Pematang Siantar.
Sedijoprapto, EI dan AR. Dewi, 2001. Arboretum Manggala Wanabakti: Tanaman Delegasi WFC VIII, Tinjauan Literatur. Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti Pusdokinfo, Museum dan Taman Hutan. Jakarta.
Wang B and Y.-L.Qiu. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizasin land plants. Mycorrhiza 16: 299–363


Penulis : Desi Natarina Sembiring

>> Baca selanjutnya..

Rabu, 05 Maret 2014

Potensi Tanaman Karet Sebagai Komoditi Agrobisnis

Bibit Karet unggul (OPAS) siap untuk ditanam
Latar Belakang

Sebagai usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat menciptakan pemerataan pembangunan yang dirasakan oleh semua masyarakat, baik meningkatkan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta mampu mengurangi perbedaan kemampuan antar daerah.

Dalam kehidupan manusia modern saat ini banyak peralatanperalatan yang menggunakan bahan yang sifatnya elastis tidak mudah pecah bila terjadi jatuh dari suatu tempat. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan tersebut secara langsung kebutuhan karet (Hevea brasilliensis) juga meningkat dengan sendirinya sesuai kebutuhan manusia.

Pada umumnya negara-negara berkembang menyakini sektor industri mampu mengatasi masalah perekonomian, dengan asumsi bahwa sektor industri dapat memimpin sektor-sektor perekonomian lainnya menuju pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, di Indonesia sektor industri dipersiapkan agar mampu menjadi penggerak dan memimpin (the leading sector) terhadap perkembangan sektor perekonomian lainnya.

Tanaman karet (Hevea brasilliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktifitas usahatani karet (Hevea brasilliensis) terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidayanya. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer.

Lebih dari setengah produksi karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih tetap diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer.

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet (Hevea brasilliensis), sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet (Hevea brasilliensis) secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.

Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini di masa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet (Hevea brasilliensis)  dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.


Rumusan Masalah
  1. Karateristik dan kegunaan Karet (Hevea brasilliensis)
  2. Prospek dan peluang pasar komoditi Karet(Hevea brasilliensis)
  3. Potensi pasar Karet (Hevea brasilliensis) bagi dunia 
  4. Kendala Dalam Bisnis Karet (Hevea brasilliensis)

Karateristik dan Kegunaan Karet (Hevea brasilliensis)

Karet (Hevea brasilliensis) adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon karet (Hevea brasilliensis)  pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, di mana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan sehingga sampai sekarang Asia merupakan sumber karet alami. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet (Hevea brasilliensis)  pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor.

Kondisi Karet yang sudah ditoreh/diambil getahnya

Tanaman karet ( Hevea brasilliensis Muell Arg ) adalah tanaman getah-getahan yang mempunyai jaringan tanaman yang banyak mengandung getah (lateks) dan getah tersebut mengalir keluar apabila jaringan tanaman terlukai. Tanaman karet (Hevea brasilliensis) berupa pohon dengan ketinggian bisa mencapai 15 m sampai 25 m. Batang tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi keatas. Batang tersebut berbentuk silindris atau bulat, kulit kayunya halus, rata-rata berwarna pucat hingga kecoklatan, sedikit bergabus.

Dibawah ini merupakan sistematika dari karet (Hevea brasilliensis) :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Tanaman karet (Hevea brasilliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar, tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.

Karet (Hevea brasilliensis) adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai latex) yang diperoleh dari getah beberapa jenis tumbuhan pohon karet tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Ini dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respons yang menghasilkan lebih banyak latex lagi.

Hasil utama dari pohon karet (Hevea brasilliensis) adalah lateks yang dapat dijual/diperdagangkan oleh masyarakat berupa latek segar, slab/koagulasi ataupun sit asap/sit angin. Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, sepatu karet, sarung tangan, dan lain sebagainya. Hasil sampingan dari pohon karet adalah kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun ataupun peremajaan kebun karet tua/tidak menghasilkan lateks lagi. Umumnya kayu karet yang diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture).

Hal yang paling penting dalam penanaman karet (Hevea brasilliensis)  adalah bibit/bahan tanam, dimana dalam hal ini bahan tanam yang baik adalah yang berasal dari tanaman karet okulasi. Persiapan bahan tanam dilakukan paling tidak 1,5 tahun sebelum penanaman. Dalam hal bahan tanam ada tiga komponen yang perlu disiapkan, yaitu: batang bawah (root stoct), entres/batang atas (budwood), dan okulasi (grafting) pada penyiapan bahan tanam.


Prospek dan Peluang Pasar Komoditi Karet (Hevea brasilliensis)

Karet (Hevea brasilliensis) merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton paa tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton padatahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas.

Karet (termasuk karet alam) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia. Kebutuhan karet sintetik relatif lebih mudah dipenuhi karena sumber bahan baku relatif tersedia walaupun harganya mahal, akan tetapi karet alam dikonsumsi sebagai bahan baku industri tetapi diproduksi sebagai komoditi perkebunan.

Untuk jumlah konsumsi karet dunia dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan, jika pada tahun 2009 konsumsi karet dunia sebesar 9,277 juta ton, untuk tahun 2010 naik menjadi 10,664 juta ton. Sementara produksi karet mentah dunia hanya mampu memberikan sebanyak 10,219 juta ton pada tahun 2010 naik dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 9,702 juta ton karet alam atau minus sekitar 445.000 ton. Harga karet di pasar dunia tersebut dipengaruhi oleh tingginya permintaan terhadap komoditas tersebut dari negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti China, India, dan Asia Pasifik.

Menurut data untuk tahun 2011 produksi karet (Hevea brasilliensis) alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Dengan adanya asumsi tersebut, dipastikan Indonesia berpeluang besar untuk memasok karet alam hasil produk Indonesia ke luar negeri/ekspor dan tentunya dengan catatan untuk produk karet Indonesia agar lebih ditingkatkan. Untuk  tahun 2010 ekspor karet Indonesia sebesar 1,9 juta ton. Diperkirakan untuk targetnya tahun ini ekspor karet bisa naik hingga 10%.

Dengan adanya penyebaran lahanlahan penanaman pohon karet hampir di seluruh propinsi yang ada di Indonesia saat ini, diharapkan akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan hasil dari pengolahan pohon karet dan ini membuka peluang kepada investor untuk menanamkan modalnya di perkebunan karet. Karet (Hevea brasilliensis)  merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia beberapa tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dengan begitu pendapatan devisa dari komoditi ini menunjukan hasil yang bagus.

Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Semuanya ini memerlukan dukungan teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perkaretan.


Potensi Pasar Karet (Hevea brasilliensis) Dunia

Jumlah konsumsi karet dunia meningkat dan lebih tinggi dari produksi yang ada. Dengan begitu Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia dikarenakan Negaranegara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia semakin kekurangan lahan dan sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga ini bisa menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia supaya menjadi lebih baik untuk peningkatan industri karet.

Pola penanaman Karet bisa dilakukan dengan sistem "Tumpang Sari"

Melihat dari kacamata kebutuhan akan produksi karet‚ beberapa industri tertentu memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasokan karet alam‚ misalnya industri ban yang merupakan pemakai terbesar karet alam. Beberapa jenis ban seperti radial‚ walaupun dalam pembuatannya dicampur dengan karet sintetis‚ tetapi jumlah karet alam yang digunakan tetap besar yaitu dua kali komponen karet sintetis. Jadi kebutuhan akan karet alam sangatlah besar.

Tetapi unsur persaingan industri karet alam menunjukkan intensitas persaingan yang dikategorikan tinggi . Hal ini menunjukkan bahwa industri karet alam memiliki daya tarik industri dan potensi laba yang sangat besar. Daya tarik yang besar ini ditunjukkan oleh tingginya peningkatan pertumbuhan rata-rata industri.

Seiring dengan keinginan manusia menggunakan barang yang bersifat tahan dari pecah dan elastis maka kebutuhan akan karet saat ini akan terus berkembang dan meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri otomotif, kebutuhan rumah sakit, alat kesehatan dan keperluan rumah tangga dan sebagainya. Diperkirakan untuk masa yang akan datang kebutuhan akan karet akan terus meningkat. Tentu hal ini akan menjadi peluang yang baik bagi Indonesia mengekspor karet dan hasil olahan industri karet yang ada di Indonesia ke negaranegara lainnya.

Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan akan bahan karet alami di negaranegara industri terhadap komoditi karet dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatkan persediaan akan karet alami dan industri produksi karet merupakan langkah yang bagus untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini semua, perlu diperhatikan perkembangan perkebunan karet, industri hilir guna memberi nilai tambah dari hasil industri hulu.

Jumlah konsumsi karet (Hevea brasilliensis) dunia meningkat dan lebih tinggi dari produksi yang ada. Dengan begitu Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia dikarenakan Negaranegara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia semakin kekurangan lahan dan sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga ini bisa menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia supaya menjadi lebih baik untuk peningkatan industri karet.

Dengan meningkatnya kebutuhan akan karet alam dari negaranegara industri, ini mempengaruhi ekspor karet Indonesia ke negaranegara lainnya. Kebanyakan adalah Negara produsen mobil. Peningkatan juga terjadi karena adanya pengalihan karet sistetis akibat naiknya harga minyak dunia.


Kendala Dalam Bisnis Karet

Penyakit karet (Hevea brasilliensis) sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Oleh karena itu langkah-langkah pengendalian secara terpadu dan efisien guna memperkecil kerugian akibat penyakit tersebut perlu dilakukan. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan karet. 

Produksi Karet (Hevea brasilliensi) tidak selamanya berjalan lancar, adanya penurunan produksi dapat disebabkan oleh kualitas bibit yang rendah, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan tanaman yang buruk dan berdampak pada penurunan nilai tambah. Kualitas bibit yang rendah menjadi masalah utama untuk perkebunan karet yang ditunjukkan dengan rentang produktif tanaman karet yang kurang dari 30 Tahun. Maka perbaikan utama yang dapat dilakukan adalah penanaman kembali dengan bibit unggul berproduktivitas lebih tinggi dan pengaturan jarak yang optimal.

Menurut IRSG, dalam studi Rubber diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua decade ke depan. Untuk mengantisipasi kekurangan karet alam yang akan terjadi, diperlukan suatu inovasi baru dari hasil industri karet dengan mengembangkan nilai tambah yang bisa di peroleh dari produk karet itu sendiri. Nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industry kayu. Menunjuk dari pohon industri berbasis karet. Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari karet, namun sampai saat ini potensi kayu karet tua belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Dari sistem pengolahan, Indonesia masih kalah dari negara-negara pesaing yang menggunakan teknologi yang lebih canggih dibandingkan Indonesia. Akibatnya produk yang dihasilkan Indonesia masih kurang dari sisi kualitas jika dibandingkan produk-produk dari negara pesaing seperti Thailand dan Malaysia.


Kesimpulan

Melihat perkembangan baik dari segi konsumsi maupun produksi karet dunia, dalam tahuntahun mendatang dipastikan masih akan terus meningkat. Indonesia merupakan penghasil karet (Hevea brasilliensis)  sekaligus sebagai salah satu basis manufaktur karet dunia. Tersedianya lahan yang luas memberikan peluang untuk menghasilkan karet alami yang lebih besar lagi dengan menambah areal perkebunan karet. Tetapi lebih utama dari itu, produksi karet alam bisa ditingkatkan dengan meningkatkan teknologi pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, dengan demikian output (latex) yang dihasilkan dari input (getah) bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin sedikit.

Meskipun pasar karet alam lebih sedikit dibanding dengan pasar karet sintetik, namun produksi maupun konsumsi karet alam masih cukup besar. Salah satu kelebihan dari karet alamantara lain dilihat dari segi kestabilan harganya yang tidak terpengaruh secara langsung oleh harga minyak dunia. Tidak demikian halnya dengan harga karet sintetik yang terkena dampak langsung oleh kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.

Pada tahun 2005 perdagangan karet Indonesia mengalami surplus sebesar US $ 2,9 juta dimana nilai ekspor lebih besar dibanding nilai impor. Potensi surplus ini masih bisa naik lagi mengingat kebutuhan karet dunia yang terus meningkat, ditambah lagi apabila didukung pengurangan volume impor karet dengan tercukupinya kebutuhan karet dalam negeri.


Daftar Pustaka

Anwar, C., 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Anwar, C. 2006. Manajemen Dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet Sei Putih. http:// www.ipard.com/ art_ perkebun/ MANAJEMEN %20 DAN%20 TEKNOLOGI%20 BUDIDAYA%20 KARET. pdf [06 Juni 2010].
Anwar, C., 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Aidi dan Daslin. 1995. Pengelolaan Bahan Tanam Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.
Apriyantono, A, Dr. Ir. MS. 2007. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Dan Agro Inovasi. Jakarta. http:// www.litbang.deptan.go.id/ special/ publikasi/doc_perkebunan/karet/ karet-bagian-a.pdf [08 Juni 2010].
Basuki, Ir, Dr. dan Tjasadihardja, A. Ir. Dr. M.S. 1995. Warta Pusat Penelitian Karet. Volume 14 Nomor 2 (89-101) Juni 1995 Asosiasi Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. CV. Monora. Medan, hlm 91-92.
BPS. 2011. Karet Menurut Provinsi Di Seluruh Indonesia. Buku Statistik Perkebunan 2009-2011 Direktorat Jendral Perkebunan. http://www. deptan.go.id/ infoeksekutif/bun/ EIS-bun2010 /karet. html [19 Januari 2012]
Deptan., 2006. Basis Data Statistik Pertanian (http://www.database.deptan.go.id/). Diakses tanggal 5 Mei 2009.
Gaspersz, V., 2001. Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Marsono dan Sigit, P. 2005. Karet. Strategi Pemasaran Budidaya Dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Maryadi. 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nazaruddin dan F.B. Paimin. 1998. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nugraheni, I., 2007. Analisis Kualitas Kontrol Produksi Karet dengan Grafik Pengendali Rata-Rata X dan Grafik Pengendali Range R. Skripsi. FMIPA. Universitas Negeri Semarang.
Purwanto, E. 2001. Berbagai Klon Karet Pilihan Untuk Sistem Wanatani. International Centre For Research In Agroforestry at website www. icraf.cgiar. org/sea. http://www.worldagroforestry. org/SEA /Publications /files/leaflet/ LE0005-4.PDF [03 April 2008].
Semoiraya. 2010. Budidaya Karet. http://semoiraya.com/article/26214/budidaya-karet.html [10 Oktober 2010].
Setiawan, D. H. Ir dan Andoko, A. Drs. 2000. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Setyamidjaja, D. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sianturi, H. S. D. 2001. Budidaya Tanaman Karet. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Sihotang, M. 2011. Produksi Karet Alam. http:// www.bisnis-sumatra. com/index. php/2011/04 /produksi-karet-alam-diduga-meningkat/ [09 Januari 2012]. 
Siregar, T.H.S., 1995. Teknik Penyadapan Karet. Kanisius. Yogyakarta.
Tim Penulis PS., 1999. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya, Jakarta.


Penulis : Felix Samisara Perangin-angin
Sumber : http://hutanb2011.blogspot.com

>> Baca selanjutnya..

Senin, 03 Maret 2014

Budidaya Tanaman Karet

Karet unggul (okulasi) yang sudah ditanam
Tanaman karet yang memiliki nama latin Hevea braziliensis ini menjadi salah satu tanaman primadona jangka panjang yang digandrungi oleh masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah. Tanaman yang berasal dari negara Brasil ini dipandang sebagai investasi yang sangat menjanjikan. Selain itu juga, Karet mempunyai arti penting dalam aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, yaitu sebagai salah satu komoditi penghasil devisa negara serta sebagai tempat persediaanya lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar.

Melihat dari latar belakang tersebut Gubhuk Ijo akan mencoba berbagi sedikit informasi mengenai budidaya tanaman Karet yang baik, diantaranya sebagai berikut :

1. Persiapan Lahan Tanam

Untuk lahan tanam pada tanaman karet ini memiliki syarat atau kriteria tanah yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu ;
  • Tanah harus gembur.
  • Kedalaman antara 1-2 meter.
  • Tidak bercadas.
  • PH tanah 3,5 – 7,0.
  • Ketinggian tempat antara 0 – 400 meter paling baik pada ketinggian 0 – 200 meter, setiap kenaikan 200 meter matang sedap terlambat 6 bulan.
Selain dari kriteria tanah, iklim juga mempengaruhi tumbuh kembang tanaman karet itu sendiri. Iklim yang cocok adalah Curah hujan minimum 1.500 mm pertahun, jumlah hari hujan 100 – 150 hari, curah hujan optimum 2.500 – 4.000 mm.

2. Penanaman

Untuk penanaman diperlukan tahap-tahapan sebagai berikut ;
  • Pembuatan lubang tanam dan pengajiran kedua.
  • Jarak tanam untuk tanah ringan 45 x 45 x 30 cm, untuk tanah berat 60 x 60 x 40 cm.
  • Lubang dibiarkan satu bulan atau lebih.
  • Jenis penutup tanah; Puecaria javanica, Colopogonium moconoides dan Centrosema fubercens, penanaman dapat diatur atau ditugal setelah tanah diolah dan di bersihkan, jumlah bibit yang ditanam 15 – 20 Kg/Ha dengan perbandingan 1 : 5 : 4 antara Pueraria Javanoica : Colopoganium moconoides dan Cetrosema fubercens.
  • Penanaman ; bibit ditanam pada lubang tanah yang telah dsiberi tanda dan ditekan sehingga leher akan tetap sejajar dengan permukaan tanah, tanah sekeliling bibit diinjak-injak sampai padat sehingga bibit tidak goyang, untuk stump mata tidur mata menghadap ke sekatan atau di sesuaikan dengan arah angin.

3. Pemeliharaan

Setelah penanaman tanaman karet selanjutnya ke tahap pemeliharaan baik secara rutin maupun secara berkala. Untuk pemeliharaan ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

A. Penyulaman
  • Bibit yang baru ditanam selama tiga bulan pertama setelah tanam diamati terus menerus.
  • Tanaman yang mati segera diganti.
  • Klon tanaman  untuk penyulaman harus sama.
  • Penyulaman dilakukan sampai unsur 2 tahun.
  • Penyulaman setelah itu dapat berkurang atau terlambat pertumbuhannya.

B. Pemotongan Tunas Palsu
Tunas palsu dibuang selama 2 bulan pertama dengan rotasi 1 kali 2 minggu, sedangkan tunas liar dibuang sampai tanaman mencapai ketinggian 1,80 meter.

C. Merangsang Percabangan
Bila tanaman sudah berumur 2 – 3 tahun dengan tinggi berkisar 3,5 meter belum mempunyai cabang perlu diadakan perangsangan dengan cara :
  • Pengeringan batang (ring out)
  • Pembungkusan pucuk daun (leaf felding)
  • Penanggalan (tapping)
 
D. Pemupukan
Pemupukan dilakukan 2 kali setahun yaitu menjelang musim hujan dan akhir musim kemarau, sebelumnya tanaman dibersihkan dulu dari rerumputan dibuat larikan melingkar selama – 10 cm. Pemupukan pertama kurang lebih 10 cm dari pohon dan semakin besar disesuaikan dengan lingkaran tajuk.

4. Masa Panen Dan Pasca Panen
 
Ini merupakan tahap terakhir menanam karet. Karet ini cara memanennya yaitu dengan cara disadap. Untuk tanda-tanda tanaman karet siap untuk disadap yaitu umur tanaman rata-rata 6 tahun atau 55% dari areal 1 hektar sudah mencapai lingkar batang 45 cm sampai dengan 50 cm. Disadap berselang 1 hari atau 2 hari setengah lingkar batang. Hasil karet dari sadapan disebut juga sebagai lateks. Nah untuk pengolahan lateks tersebut sebagai berikut:
 
Seorang petani sedang menyadap getah Karet
  • Standar karet kebun diturunkan dari rata-rata 32% menjadi 16% dengan jalan memberi air yang bening atau yang bersih.
  • Kemudian dicampur dengan cuka/setiap 1 kg karet kering 350 s/d 375 cc larutan 1% cuka.
  • Dibiarkan sampai beku.
  • Kemudian digiling dalam gilingan polos dan kembang, kemudian direndam rata-rata 60 menit.
  • Disadap selama 1 minggu.

>> Baca selanjutnya..